Kalau kamu pernah nongkrong di Starbucks, ngopi sambil kerja, atau sekadar menikmati frappuccino dengan nama salah tulis di gelas, tahu gak sih siapa orang di balik semua itu?
Namanya Howard
Schultz. Dia bukan anak orang kaya, bukan lulusan kampus Ivy League, dan
bukan pula pengusaha yang langsung sukses dari kecil. Sebaliknya, dia justru mengalami
jatuh-bangun dalam hidup dan bisnis sebelum akhirnya berhasil membawa Starbucks
ke puncak dunia.
Ini bukan
sekadar kisah sukses, tapi kisah bagaimana seseorang bangkit dari kegagalan
bisnis dengan penuh semangat dan strategi.
Awal Hidup yang Sederhana dan Penuh Tantangan
Howard lahir
di Brooklyn, New York, tahun 1953, dari keluarga biasa banget. Ayahnya seorang
sopir truk pengantar susu, dan keluarganya hidup dalam kondisi ekonomi yang
bisa dibilang... pas-pasan banget.
Saking
pas-pasannya, Schultz cerita bahwa waktu kecil dia sering malu karena gak bisa
beli sepatu bagus kayak temen-temennya. Tapi dari situ dia belajar satu hal
penting: "kalau mau hidup berubah, gue harus kerja keras sendiri."
Setelah
lulus SMA, dia kuliah di Northern Michigan University—itu pun dengan beasiswa
olahraga. Gak ada yang menyangka bahwa cowok Brooklyn ini bakal jadi bos dari
jaringan kopi terbesar di dunia.
Awal Karier: Bukan di Dunia Kopi
Setelah
lulus kuliah, Schultz kerja di beberapa perusahaan, termasuk Xerox. Tapi
kariernya mulai berubah waktu dia kerja di perusahaan alat dapur bernama
Hammarplast, sebagai wakil direktur pemasaran.
Nah, dari
sinilah semuanya dimulai...
Pertemuan Pertama dengan Starbucks
Waktu di
Hammarplast, Schultz ngelihat perusahaan kecil di Seattle yang sering order
banyak alat penyeduh kopi. Namanya: Starbucks. Waktu itu, Starbucks cuma
toko kecil yang jual biji kopi berkualitas tinggi. Belum ada yang namanya minum
latte sambil duduk di sofa empuk.
Schultz
penasaran, lalu terbang ke Seattle buat ketemu para pendiri Starbucks. Dia
langsung jatuh cinta dengan ide mereka soal kopi berkualitas. Akhirnya, di
tahun 1982, Schultz gabung dengan Starbucks sebagai direktur pemasaran.
Gagal Usul, Malah Ditinggal
Setahun
kemudian, Schultz pergi ke Italia, dan di sanalah dia mendapat ilham yang
mengubah hidupnya. Di Milan, dia melihat gimana kafe-kafe espresso bukan
sekadar tempat beli kopi, tapi juga jadi tempat orang ngobrol, nongkrong,
bahkan bertemu teman. Ada semacam budaya kopi yang hangat.
Dia pun bawa
ide ini ke bos Starbucks: "Gimana kalau kita bikin Starbucks bukan cuma
jual biji kopi, tapi juga nyediain kopi seduh di tempat dan tempat duduk kayak
di Italia?"
Jawabannya?
Ditolak.
Para pendiri
Starbucks gak tertarik. Mereka merasa Starbucks harus tetap jadi toko kopi
murni, bukan kafe. Schultz kecewa banget. Tapi di sinilah titik baliknya...
Bikin Usaha Sendiri, dan… Gagal!
Karena idenya
gak diterima, Schultz memutuskan keluar dari Starbucks dan mendirikan bisnis
kopinya sendiri. Namanya: Il Giornale. Dengan modal pinjaman dari
beberapa investor (termasuk salah satu pendiri Starbucks), dia buka toko
pertama di Seattle tahun 1985.
Awalnya,
responsnya bagus. Tapi bisnis gak selalu mulus. Kompetitor banyak, dana
terbatas, dan operasional cukup berat. Il Giornale sempat hampir tutup karena
biaya operasional gede dan pelanggan belum terlalu familiar dengan konsep
espresso bar ala Italia.
Schultz
sempat panik. Ini mimpi
dia. Tapi bisnisnya nyaris gagal di tahun pertama.
Plot Twist: Balik ke Starbucks... sebagai Bos!
Tapi seperti
kata orang, kadang jalan memutar itu yang bawa kita ke tujuan. Di tahun 1987,
para pendiri Starbucks memutuskan menjual perusahaan karena mereka mau
fokus ke bisnis lain. Schultz ngelihat ini sebagai kesempatan emas.
Dengan susah
payah, dia kumpulin dana—sekitar $3,8 juta, dari berbagai investor. Dan
akhirnya… dia berhasil membeli Starbucks.
Gila, kan?
Dulu ditolak, sekarang jadi bosnya!
Membangun Ulang Starbucks dengan Gaya Baru
Begitu dia
pegang kendali, Schultz langsung ubah total konsep Starbucks. Dia bawa ide
espresso bar ala Italia ke dalam toko Starbucks, lengkap dengan sofa nyaman,
musik yang enak, dan layanan ramah.
Kopi bukan
lagi cuma minuman. Tapi jadi pengalaman. Nongkrong di Starbucks jadi
gaya hidup.
Tahun demi
tahun, Starbucks tumbuh pesat. Dari puluhan toko di AS, sampai ribuan di
seluruh dunia. Dari bisnis lokal, jadi imperium global kopi.
Tantangan Tetap Datang
Walau
bisnisnya meledak, Schultz gak kebal dari tantangan. Di tahun 2008, waktu
krisis ekonomi global, Starbucks mulai kehilangan arah. Penjualan turun,
brand-nya dianggap kehilangan "jiwa".
Schultz
waktu itu udah pensiun dari posisi CEO. Tapi karena keadaan genting, dia kembali
turun gunung dan ambil alih posisi CEO lagi.
Dia menutup
ratusan toko, memperbaiki kualitas, melatih ulang barista, dan mengembalikan
fokus Starbucks ke nilai-nilai utamanya: pelayanan, kualitas, dan komunitas.
Dan
hasilnya? Starbucks bangkit lagi dan tetap jadi raksasa kopi sampai sekarang.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Ini?
Kisah Howard
Schultz bukan cuma tentang ngopi. Tapi tentang keteguhan hati, visi, dan
keberanian buat bangkit setelah kegagalan. Beberapa pelajaran penting yang
bisa kita ambil:
1. Ditolak Bukan Akhir Dunia
Waktu idenya
ditolak oleh bos lamanya, Schultz gak ngambek atau menyerah. Dia cari jalan
lain. Kalau kita punya mimpi besar, kadang kita harus berani jalan sendiri.
2. Bisnis Gagal Itu Bukan Aib
Il Giornale
nyaris gagal. Tapi dari sana, Schultz belajar banyak. Dan siapa sangka,
kegagalan itu justru jadi jembatan buat pegang kendali atas Starbucks.
3. Visi Itu Penting
Schultz gak
cuma jual kopi. Dia jual pengalaman. Dia tahu apa yang dia mau: menciptakan
“tempat ketiga” — bukan rumah, bukan kantor, tapi tempat nyaman buat semua
orang.
4. Bangkit Itu Perlu Strategi
Waktu
Starbucks menurun, dia gak asal panik. Dia evaluasi, potong kerugian, dan
kembali ke akar bisnisnya. Bangkit itu gak cukup cuma semangat, tapi juga perlu
rencana yang matang.
Penutup: Kamu Juga Bisa Bangkit
Jadi, kalau
kamu sekarang lagi ngalamin kegagalan bisnis, ingat: Howard Schultz juga
pernah gagal. Pernah ditolak. Pernah dibilang “ide kamu gak cocok.” Tapi
dia gak berhenti.
Bangkit itu
mungkin sakit, tapi hasilnya bisa luar biasa.
Mungkin hari
ini bisnismu lesu. Mungkin produkmu gak laku. Tapi siapa tahu, itu adalah babak
awal dari kisah hebatmu. Yang penting: jangan menyerah. Evaluasi. Belajar.
Bangkit.
Ingat kata
Howard Schultz:
“When you’re
surrounded by people who share a passionate commitment around a common purpose,
anything is possible.”