Senin, 19 Mei 2025

Howard Schultz: Dari Anak Tukang ke Raja Kopi Dunia

 

 

Motivasi dari Kisah Nyata,

Kalau kamu pernah nongkrong di Starbucks, ngopi sambil kerja, atau sekadar menikmati frappuccino dengan nama salah tulis di gelas, tahu gak sih siapa orang di balik semua itu?

Namanya Howard Schultz. Dia bukan anak orang kaya, bukan lulusan kampus Ivy League, dan bukan pula pengusaha yang langsung sukses dari kecil. Sebaliknya, dia justru mengalami jatuh-bangun dalam hidup dan bisnis sebelum akhirnya berhasil membawa Starbucks ke puncak dunia.

Ini bukan sekadar kisah sukses, tapi kisah bagaimana seseorang bangkit dari kegagalan bisnis dengan penuh semangat dan strategi.

 

Awal Hidup yang Sederhana dan Penuh Tantangan

Howard lahir di Brooklyn, New York, tahun 1953, dari keluarga biasa banget. Ayahnya seorang sopir truk pengantar susu, dan keluarganya hidup dalam kondisi ekonomi yang bisa dibilang... pas-pasan banget.

Saking pas-pasannya, Schultz cerita bahwa waktu kecil dia sering malu karena gak bisa beli sepatu bagus kayak temen-temennya. Tapi dari situ dia belajar satu hal penting: "kalau mau hidup berubah, gue harus kerja keras sendiri."

Setelah lulus SMA, dia kuliah di Northern Michigan University—itu pun dengan beasiswa olahraga. Gak ada yang menyangka bahwa cowok Brooklyn ini bakal jadi bos dari jaringan kopi terbesar di dunia.

 

Awal Karier: Bukan di Dunia Kopi

Setelah lulus kuliah, Schultz kerja di beberapa perusahaan, termasuk Xerox. Tapi kariernya mulai berubah waktu dia kerja di perusahaan alat dapur bernama Hammarplast, sebagai wakil direktur pemasaran.

Nah, dari sinilah semuanya dimulai...

 

Pertemuan Pertama dengan Starbucks

Waktu di Hammarplast, Schultz ngelihat perusahaan kecil di Seattle yang sering order banyak alat penyeduh kopi. Namanya: Starbucks. Waktu itu, Starbucks cuma toko kecil yang jual biji kopi berkualitas tinggi. Belum ada yang namanya minum latte sambil duduk di sofa empuk.

Schultz penasaran, lalu terbang ke Seattle buat ketemu para pendiri Starbucks. Dia langsung jatuh cinta dengan ide mereka soal kopi berkualitas. Akhirnya, di tahun 1982, Schultz gabung dengan Starbucks sebagai direktur pemasaran.

 

Gagal Usul, Malah Ditinggal

Setahun kemudian, Schultz pergi ke Italia, dan di sanalah dia mendapat ilham yang mengubah hidupnya. Di Milan, dia melihat gimana kafe-kafe espresso bukan sekadar tempat beli kopi, tapi juga jadi tempat orang ngobrol, nongkrong, bahkan bertemu teman. Ada semacam budaya kopi yang hangat.

Dia pun bawa ide ini ke bos Starbucks: "Gimana kalau kita bikin Starbucks bukan cuma jual biji kopi, tapi juga nyediain kopi seduh di tempat dan tempat duduk kayak di Italia?"

Jawabannya?

Ditolak.

Para pendiri Starbucks gak tertarik. Mereka merasa Starbucks harus tetap jadi toko kopi murni, bukan kafe. Schultz kecewa banget. Tapi di sinilah titik baliknya...

 

Bikin Usaha Sendiri, dan… Gagal!

Karena idenya gak diterima, Schultz memutuskan keluar dari Starbucks dan mendirikan bisnis kopinya sendiri. Namanya: Il Giornale. Dengan modal pinjaman dari beberapa investor (termasuk salah satu pendiri Starbucks), dia buka toko pertama di Seattle tahun 1985.

Awalnya, responsnya bagus. Tapi bisnis gak selalu mulus. Kompetitor banyak, dana terbatas, dan operasional cukup berat. Il Giornale sempat hampir tutup karena biaya operasional gede dan pelanggan belum terlalu familiar dengan konsep espresso bar ala Italia.

Schultz sempat panik. Ini mimpi dia. Tapi bisnisnya nyaris gagal di tahun pertama.

 

Plot Twist: Balik ke Starbucks... sebagai Bos!

Tapi seperti kata orang, kadang jalan memutar itu yang bawa kita ke tujuan. Di tahun 1987, para pendiri Starbucks memutuskan menjual perusahaan karena mereka mau fokus ke bisnis lain. Schultz ngelihat ini sebagai kesempatan emas.

Dengan susah payah, dia kumpulin dana—sekitar $3,8 juta, dari berbagai investor. Dan akhirnya… dia berhasil membeli Starbucks.

Gila, kan? Dulu ditolak, sekarang jadi bosnya!

 

Membangun Ulang Starbucks dengan Gaya Baru

Begitu dia pegang kendali, Schultz langsung ubah total konsep Starbucks. Dia bawa ide espresso bar ala Italia ke dalam toko Starbucks, lengkap dengan sofa nyaman, musik yang enak, dan layanan ramah.

Kopi bukan lagi cuma minuman. Tapi jadi pengalaman. Nongkrong di Starbucks jadi gaya hidup.

Tahun demi tahun, Starbucks tumbuh pesat. Dari puluhan toko di AS, sampai ribuan di seluruh dunia. Dari bisnis lokal, jadi imperium global kopi.

 

Tantangan Tetap Datang

Walau bisnisnya meledak, Schultz gak kebal dari tantangan. Di tahun 2008, waktu krisis ekonomi global, Starbucks mulai kehilangan arah. Penjualan turun, brand-nya dianggap kehilangan "jiwa".

Schultz waktu itu udah pensiun dari posisi CEO. Tapi karena keadaan genting, dia kembali turun gunung dan ambil alih posisi CEO lagi.

Dia menutup ratusan toko, memperbaiki kualitas, melatih ulang barista, dan mengembalikan fokus Starbucks ke nilai-nilai utamanya: pelayanan, kualitas, dan komunitas.

Dan hasilnya? Starbucks bangkit lagi dan tetap jadi raksasa kopi sampai sekarang.

 

Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Kisah Ini?

Kisah Howard Schultz bukan cuma tentang ngopi. Tapi tentang keteguhan hati, visi, dan keberanian buat bangkit setelah kegagalan. Beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil:

1. Ditolak Bukan Akhir Dunia

Waktu idenya ditolak oleh bos lamanya, Schultz gak ngambek atau menyerah. Dia cari jalan lain. Kalau kita punya mimpi besar, kadang kita harus berani jalan sendiri.

2. Bisnis Gagal Itu Bukan Aib

Il Giornale nyaris gagal. Tapi dari sana, Schultz belajar banyak. Dan siapa sangka, kegagalan itu justru jadi jembatan buat pegang kendali atas Starbucks.

3. Visi Itu Penting

Schultz gak cuma jual kopi. Dia jual pengalaman. Dia tahu apa yang dia mau: menciptakan “tempat ketiga” — bukan rumah, bukan kantor, tapi tempat nyaman buat semua orang.

4. Bangkit Itu Perlu Strategi

Waktu Starbucks menurun, dia gak asal panik. Dia evaluasi, potong kerugian, dan kembali ke akar bisnisnya. Bangkit itu gak cukup cuma semangat, tapi juga perlu rencana yang matang.

 

Penutup: Kamu Juga Bisa Bangkit

Jadi, kalau kamu sekarang lagi ngalamin kegagalan bisnis, ingat: Howard Schultz juga pernah gagal. Pernah ditolak. Pernah dibilang “ide kamu gak cocok.” Tapi dia gak berhenti.

Bangkit itu mungkin sakit, tapi hasilnya bisa luar biasa.

Mungkin hari ini bisnismu lesu. Mungkin produkmu gak laku. Tapi siapa tahu, itu adalah babak awal dari kisah hebatmu. Yang penting: jangan menyerah. Evaluasi. Belajar. Bangkit.

Ingat kata Howard Schultz:

“When you’re surrounded by people who share a passionate commitment around a common purpose, anything is possible.”

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cara Menikmati Hidup Tanpa Mengorbankan Keuangan

Cara Menikmati Hidup Tanpa Mengorbankan Keuangan Menikmati hidup adalah hak semua orang. Kita semua ingin bersenang-senang, makan enak, trav...